Perjalanan Umrah Pertama: Dari Bandara Munuju Baitullah

Ketika Langkah Menuju Baitullah Dimudahkan Allah...

Pukul 16.00 sore, kami tiba di Bandara Jeddah. Sinar matahari senja menyambut kami—dan hatiku bergemuruh. “Ya Allah... ini nyata. Aku sudah di tanah yang dulu hanya bisa aku pandangi lewat mimpi dan doa.” Rasanya seperti baru kemarin aku mengangkat tangan dalam shalat, memohon agar Engkau undang aku ke rumah-Mu. Hari ini… aku di sini.

Segala proses di bandara berjalan begitu lancar. Tidak ada hambatan, tidak ada wajah petugas yang galak—semua terasa dimudahkan, seolah dunia tahu kami adalah tamu istimewa-Mu, ya Rabb. Di imigrasi, aku dan suami mendapat kemudahan yang tak kami duga. Karena membawa dua orang tua yang sudah lemah dan dua balita yang masih dalam stroller, kami diarahkan ke jalur prioritas. Kami tidak meminta, tapi Engkau yang menuntun.

Selesai dari imigrasi, kami mengambil koper dan berjalan lagi. Tiba-tiba kami dihentikan oleh petugas. Aku sempat tegang. Tapi mereka hanya meminta satu visa dan satu boarding pass, memindai, lalu berkata, "Tafaddhal..." — silakan lanjutkan. Hati ini terharu. Engkau bukakan jalan itu seluas-luasnya, Ya Allah.

Dan di balik lorong bandara... kami disambut oleh sebuah pemandangan yang tak biasa: aquarium raksasa yang viral itu berdiri dengan megahnya. Anak-anak terpukau, seolah kami tengah berada di tempat rekreasi. Mereka melompat kecil, tertawa, dan berkata, “Ibu, ini indah sekali!” Aku tersenyum, menahan haru. Dalam hati, aku tahu... ini bukan liburan. Ini perjalanan suci. Tapi Allah tahu bagaimana membuat anak-anakku ikut bahagia di dalamnya.

Kami sempat berfoto, lalu suami menghubungi driver dari Hujjaj Travel. Tak lama, kami bertemu di area parkiran bus. Mobil Hi-Ace putih bersih menanti kami. Sopirnya berpakaian rapi, tersenyum hangat. Meski kami tak lancar berbahasa Arab, dan bahasa Inggris pun seadanya, Google Translate menjadi perantara doa-doa kami bisa tersampaikan. Subhanallah, bantuan Allah datang dari arah yang tak disangka-sangka.

Sesampainya di mobil, visa kami diperiksa, dan mobil pun melaju menuju Mekkah. Saat itulah hatiku benar-benar luluh. Kami mulai melafalkan talbiyah bersama, dan suaranya menggema di dalam mobil:

Labbaik Allahumma labbaik, labbaika laa syarika laka labbaik...

Air mataku jatuh tanpa bisa ku tahan. Aku mendongak ke langit senja Jeddah, lalu berbisik dalam hati, “Aku datang, ya Allah. Aku penuhi panggilan-Mu.” Perjalanan satu jam terasa cepat, tapi setiap menitnya penuh makna. Ketika menara Zam-Zam mulai terlihat di kejauhan, detak jantungku berpacu. Tak percaya aku akan segera melihat Ka’bah... dengan mataku sendiri.

Menjelang maghrib, kami sampai di bawah Tower Zam-Zam. Bell boy dari hotel Pullman menyambut kami, mengambil alih koper-koper tanpa membiarkan kami mengangkat satu pun. Di sanalah, di tengah hingar-bingar para tamu hotel dan kemegahan bangunan bertingkat, aku kembali merasa kecil… tapi sangat dicintai oleh-Nya.

Kami naik lift ke lantai 11, tempat lobby hotel berada. Saat adzan maghrib berkumandang, tubuh ini lelah… tapi hati ini hidup. Sayangnya, karena kelelahan, orang tua kami dan dua balita harus beristirahat. Tapi kami semua sudah mengenakan pakaian ihram. Kami sudah dalam keadaan siap menyambut panggilan agung.

Suamiku dan keponakanku mengurus check-in. Kami memesan dua kamar dengan empat tempat tidur. Kamar luas dan nyaman. Kami shalat maghrib di kamar, lalu aku dan suami turun mencari makan malam di food court lantai P4. Tak peduli rasa atau merk, kami hanya butuh mengisi tenaga. Kami pilih nasi mandhi, biryani, ayam bakar. Porsinya besar, dan satu porsi bisa untuk empat orang dewasa. Begitu Allah mencukupkan segalanya… bahkan dari sisi yang paling kecil.

Setelah makan dan shalat isya, kami bersiap untuk berangkat ke Masjidil Haram. Malam itu, hanya aku, suami, dua anak kami yang sudah remaja, dua kakak ipar, dan satu keponakan yang akan berangkat. Orang tua dan balita akan menyusul esok hari, setelah istirahat. Tidak apa-apa, karena umrah ini bukan soal cepat-cepat, tapi soal kesiapan jiwa menyambut panggilan Allah.

Dan di sinilah kami berdiri, di ambang gerbang rumah-Mu ya Rabb... Tak lama lagi, wajah ini akan menatap Ka’bah untuk pertama kalinya.
Jalan ini bukan mudah, tapi Engkau mudahkan.
Perjalanan ini bukan murah, tapi Engkau cukupkan.
Perasaan ini bukan bisa dijelaskan… tapi semoga kisah ini bisa menyentuh hati siapa pun yang membacanya.

Doakan kami... dan semoga Engkau juga segera Engkau undang, wahai saudara yang sedang membaca. Karena siapa pun yang rindu, akan dijawab oleh-Nya.

Post a Comment

Previous Post Next Post